Keblinger

Keblinger

Cerita Puasa 1

| Thursday 20 August 2009
CERITA DIBULAN PUASA


Syari’at Islam mempunyai 2 sumber hukum dalam menetapkan undang-undangnya, yaitu: Al-Qur’an dan Hadits, walaupun sebagian ulama memasukkan ijma’ dan qiyas sebagai sumber hukum syari’at Islam. Segala ketetapan di dalam agama Islam yang bersifat perintah, anjuran, larangan, pemberian pilihan atau yang sejenisnya dinamakan sebagai hukum-hukum syara’ atau hukum-hukum syari’at atau hukum-hukum agama.


Hukum syara’ adalah seruan Syari’ (pembuat hukum) yang berkaitan dengan aktivitas hamba (manusia) berupa tuntutan, penetapan dan pemberian pilihan. Dikatakan Syari’ tanpa menyebutkan Allah swt sebagai pembuat hukum karena agar sunnah Nabi Muhammad saw termasuk didalamnya. Dikatakan pula “aktivitas hamba”, tidak menggunakan mukallaf (orang yang dibebani hukum), agar hukum itu mencakup anak kecil dan orang gila.


Secara garis besar ada 5 macam hukum syara’ yang mesti diketahui oleh kita:


1. Wajib:

Para ‘ulama’ memberikan banyak pengertian mengenainya, antara lain:“Suatu ketentuan agama yang harus dikerjakan kalau tidak berdosa“. Atau “Suatu ketentuan jika ditinggalkan mendapat adzab“Alasan yang dipakai untuk menetapkan pengertian diatas adalah atas dasar firman Allah swt:


(فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ (النور:63

“….Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.” (An-Nur: 63)

Dari ayat diatas telah jelas bahwa setiap orang yang melanggar perintah agama maka akan ditimpa musibah atau adzab, dan orang yang ditimpa adzab itu tidak lain melainkan mereka yang menyalahi aturan yang telah ditetapkan.

Contoh: Shalat hukumnya wajib, yakni suatu ketentuan dari agama yang harus dikerjakan, jika tidak berdosalah ia.


2. Sunnah:

“Suatu perbuatan jika dikerjakan akan mendapat pahala, dan jika ditinggalkan tidak berdosa“.
Atau “Suatu perbuatan yang diminta oleh syari’ tetapi tidak wajib, dan meninggalkannya tidak berdosa“


..مَا فَرَضَ اللَّهُ عَلَيَّ مِنْ الصِّيَامِ؟ فَقَالَ شَهْرَ رَمَضَانَ إِلاَّ أَنْ تَطَّوَّعَ شَيْئًا….

“….apa yang Allah wajibkan kepadaku dari shaum? Beliau bersabda: (shaum) bulan ramadhan, kecuali engkau mau bertathauwu’ (melakukan yang sunnah)….” (Hadits riwayat Imam Bukhari).


Dari riwayat ini jelas bahwa shaum itu yang wajib hanyalah shaum di bulan ramadhan sedangkan lainnya bukan. Shaum adalah suatu amalan yang berkaitan dengan ibadah, maka jika ada perintah yang berhubungan dengan ibadah tetapi tidak wajib, maka hukumnya sunnah. Kalau dikerjakan mendapat pahala jika meninggalkannya tidak berdosa.


Alasan untuk menetapkan hal itu mendapat adalah atas dasar firman Allah swt:

لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ. -يونس: 26

“Bagi orang-orang yang melakukan kebaikan (akan mendapat) kebaikan dan (disediakan) tambahan (atas kebaikan yang telah diperbuatnya)” (QS.Yunus: 26)Kita bisa memahami bahwa orang yang melakukan suatu kebaikan selain mendapatkan balasan atas apa yang telah dia lakukan, terdapat pula tambahan yang disediakan, dan tambahan ini bisa kita sebut sebagai “pahala”.


3. Haram:

“Suatu ketentuan larangan dari agama yang tidak boleh dikerjakan. Kalau orang melanggarnya, berdosalah orang itu“.
Contoh: Nabi saw bersabda:

لاَتَاْتُوا الكُهَّانَ. –رواه الطبراني

“Janganlah kamu datangi tukang-tukang ramal/dukun“. (Hadits riwayat Imam Thabrani).
Mendatangi tukang-tukang ramal/dukun dengan tujuan menyakan sesuatu hal ghaib lalu dipercayainya itu tidak boleh.Kalau orang melakukan hal itu, berdosalah ia. Dan sebagainya.



4. Makruh:

Arti makruh secara bahasa adalah di benci.“Suatu ketentuan larangan yang lebih baik tidak dikerjakan dari pada dilakukan“. Atau “meninggalkannya lebih baik dari pada melakukannya“.

Contoh: Makan binatang buas. Dalam hadits-hadits memang ada larangannya, dan kita memberi hukum (tentang makan binatang buas) itu makruh. Binatang yang diharamkan untuk dimakan hanya ada satu saja, dalam Al-Qur’an yang berbunyi:

-إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ… –البقرة: 173

“Tidak lain melainkan yang Allah haramkan adalah bangkai ,darah, daging babi dan binatang yang disembelih bukan karena Allah….” (QS. Al-Baqarah: 173)


Lafazh إِنَّمَا pada ayat ini ia berfungsi membatasi bahwa makanan yang diharamkan itu hanya empat yaitu: bangkai, darah, babi dan binatang yang disembelih bukan karena Allah.Maka kalau larangan makan binatang buas itu kita hukumkan haram juga, berarti sabda Nabi saw yang melarang makan binatang buas itu, menentangi Allah, ini tidak mungkin. Berarti binatang buas itu tidak haram, kalau tidak haram maka hukum itu berhadapan dengan 2 kemungkinan yaitu: mubah atau makruh. Jika dihukumkan mubah tidak tepat, karena Nabi saw melarang bukan memerintah. Jadi larangan dari Nabi itu kita ringankan dan larangan yang ringan itu tidak lain melainkan makruh. Maka kesimpulannya: binatang buas itu makruh.


5. Mubah:

Arti mubah itu adalah dibolehkan.“Satu perbuatan yang tidak ada ganjaran atau siksaan bagi orang yang mengerjakannya atau tidak mengerjakannya” atau “Segala sesuatu yang diijinkan oleh Allah untuk mengerjakannya atau meninggalkannya tanpa dikenakan siksa bagi pelakunya“
Contoh: dalam Al-Qur’an ada perintah makan, yaitu:

يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلاَ تُسْرِفُوا إِنَّهُ لاَيُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” (Al-A’raf: 31).

Akan tetapi perintah ini dianggap mubah. Jika kita mewajibkan perintah makan maka anggapan ini tidak tepat, karena urusan makan atau minum ini adalah hal yang pasti dilakukan oleh seluruh manusia baik masih balita atau jompo.Sesuatu yang tidak bisa dielak dan menjadi kemestian bagi manusia tidak perlu memberi hukum wajib, maka perintah Allah dalam ayat diatas bukanlah wajib, jika bukan wajib maka ada 2 kemungkian hukum yang dapat kita ambil, yaitu: sunnah atau mubah. Urusan makan atau minum ini adalah bersifat keduniaan dan tidak dijanjikan ganjarannya jika melakukannya, maka jika suatu amal yang tidak mendapat ganjaran maka hal itu termasuk dalam hukum mubah.
Wallohu a’lam bis shawaab

0 komentar:

Post a Comment

 

Copyright © 2010 -*"Welcome to "*- Blogger Template by Dzignine